Di masa jahiliyah, perempuan dikenal sebagai pribadi yang lemah. Apabila ada kerabatnya yang meninggal, para perempuan menangis, meratap, menampar pipi, bahkan merobek pakaian mereka. Namun hal itu tidak berlaku pada Ummu Sulaim, sang perempuan tangguh yang merupakan istri Abu Thalhah.
Suatu hari putra Ummu Sulaim yang bernama Abu Umair sakit keras. Namun suaminya, Abu Thalhah harus pergi bersama Rasulullah Saw untuk menangani suatu urusan.
Ummu Sulaim akhirnya harus mengurus anaknya sendiri, namun ternyata tubuh kecil Abu Umair mulai gemetar, kemudian mendingin disusul dengan nafas terakhir yang dihembuskan.
Air mata Ummu Sulaim tak bisa dibendung, tetapi ia tetap tegar meskipun hatinya remuk melihat kepergian anaknya. Ummu Sulaim enggan membuat suaminya khawatir dan berduka. Ia berpesan kepada keluarganya untuk tidak mengabarkan kematian anaknya hingga ia sendiri yang akan memberitahukannya.
Dengan penuh ketegaran Ummu Sulaim ikut mengurus jenazah Abu Umair yang kini hanya terbujur kaku. Ia bahkan memandikan dan mengkafani tubuh mungil anak itu.
Kemudian pulanglah Abu Thalhah saat hari mulai gelap. Setibanya di rumah, ia langsung menanyakan keadaan anaknya. Dengan tenang Ummu Sulaim menjawab “Dia sudah tenang”. Tanpa curiga sedikit pun, Abu Thalhah mengira bahwa putra kesayangannya telah sembuh dan sedang beristirahat.
Ummu Sulaim pun menyiapkan makanan dan minuman untuk suminya yang sedang berpuasa. Dengan segera, sang suami pun langsung menyantap hidangan yang telah disediakan untuknya.
Di malam itu, Ummu Sulaim bersolek untuk suaminya, tak pernah ia berdandan lebih cantik dari malam itu, lalu Ummu Sulaim melayani suaminya sebaik mungkin, seolah-olah itu adalah malam pertama bagi keduanya.
Keesokan harinya, Abu Thalhah hendak pergi untuk suatu urusan. Namun sebelum suaminya pergi Ummu Sulaim bertanya “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu mengenai suatu kaum yang dipinjamkan harta, namun ketika sang pemilik hendak mengambil hartanya kembali, kaum itu justru enggan mengembalikannya?”
Abu Thalhah pun menjawab “Tidak sepatutnya mereka berbuat demikian, sesungguhnya pinjaman harus dikembalikan kepada pemiliknya”.
Begitulah yang terjadi pada kita wahai suamiku, sesungguhnya Allah Swt telah menitipkan seorang anak laki-laki kepada kita, namun kemudian Ia mengambilnya kembali dari pelukan kita”.
Kabar itu seumpama petir yang menyambar di kepala Abu Thalhah, ia pun beristirja, rasa sedih dan marah bercampur aduk dalam hatinya, ia pun berkata “Engkau biarkan aku tak mengetahui hal itu hingga aku berlumuran janabah, lalu kini kau mengabarkan tentang kematian anakku?”
Lalu keluarlah Abu Thalhah dan shalat bersama Nabi Saw. Usai shalat, Abu Thalhah segera mendekati Nabi Saw dan menceritakan apa yang terjadi pada keluarganya.
Rasulullah Saw kemudian berdoa “Semoga Allah memberkahi kalian berdua dalam malam kalian berdua itu”.
Doa Rasulullah Saw pun diijabah Allah. Ummu Sulaim kemudian dikaruniai seorang anak, ia menamakannya Abdullah bin Thalhah. Darinya, lahirlah keturunan-keturunan shalih lagi hafal al-Qur’an.
Abu Ubabah bin Rifa’ah berkata “Sungguh, setelah itu aku menyaksikan tujuh orang anak mereka di masjid, semuanya sudah mengkhatamkan (hafal) al-Qur’an”.
Disarikan dari kitab Fathul Bari bi Syarhi Shahih al-Bukhari, hadis no 1301
0 Response to "Kisah Ketabahan Ummu Sulaim atas Kematian Anaknya"
Post a Comment