Peristiwa berdarah itu terjadi di Bulan Ramadhan, ketika Ibnu Muljam merasa paling benar dan menganggap orang di luar dirinya layak untuk dibunuh.
Sang Pintu Ilmu, Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, suatu ketika didemo secara pribadi oleh seorang rakyatnya.
“Dulu, di zaman Abu Bakar, Umar, dan Utsman (radliyAllahu anhum) kondisi negara stabil. Kini, di era engkau menjadi pemimpin, kondisinya tidak stabil.”
Ada protes terselubung dalam statemen rakyat ini. Sayyidina Ali tersenyum.
“Pada masa beliau bertiga itu,” kata Ali, “yang dipimpin adalah orang-orang macam aku, sedangkan sekarang ini yang kupimpin adalah orang-orang macam kamu!!”
Beda zaman, beda tindakan. Beda era, beda pula reaksi atas sebuah kejadian. Di era kepemimpinan menantu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tersebut, daerah kekuasaan Islam bertambah luas. Para sahabat Rasulullah juga banyak yang sudah bermigrasi ke kawasan lain. Selain dikelilingi sahabatnya yang loyal, Sayyidina Ali juga dikerubuti orang-orang aneh; sekelompok orang dengan jalan pikiran ekstrem. Mereka bergabung dengan kubu Sayyidina Ali, lalu keluar dari barisan manakala menantu Rasulullah itu memutuskan gencatan senjata dengan kubu Muawiyah bin Abi Sufyan r.a.
Cinta kepada Sang Pintu Ilmu berubah menjadi benci. Mereka menyolidkan diri menjadi sebuah gerakan oposisi ekstrem. Pernah, suatu waktu, Abdullah ibn Abbas diperintah oleh Ali mengintai keseharian kelompok yang memiliki semboyan La Hukma Illa Lillah itu. Putra Abbas bin Abdul Muthalib r.a takjub dengan keseharian mereka: puasa di siang hari, ibadah di malam hari. Toh, meski demikian, sikap mereka keras.
Ali, suami Fathimah az-Zahra, yang mendapatkan laporan Ibnu Abbas radliyallahu anhuma, sontak menyahut mendengar semboyan La Hukma Illa Lillah. Kalimat benar yang dipakai untuk tujuan batil!, sahut Ali.
Pada 17 Ramadan, tanggal mulia yang masyhur dikenal sebagai peristiwa Nuzulul Qur’an, tanggal yang juga dikenang sebagai tonggak kemenangan kaum muslimin dalam Perang Badar, adalah tanggal di mana Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah ditikam pada subuh menjelang shalat. (Riwayat lain menulis 19 Ramadan, tepat hari ini). Penikamnya orang kafir? Bukan. Dia adalah Abdurrahman ibn Muljam. Sosok yang menghabiskan waktu di siang hari dengan berpuasa, malam hari dengan qiyamul lain, dan konon hafal al-Qur’an. Kawan Ibn Muljam lainnya bertugas membunuh Sayyidina Muawiyah bin Abi Sufyan dan Sayyidina Amr bin Ash Radliyallahu ‘anhuma.
Jika kedua shahabat ini lolos, maka tidak dengan Sang Pintu Ilmu. Beliau justru gugur di tangan pembunuh yang meneriakkan “Tidak ada hukum kecuali milik Allah, bukan milikmu dan bukan milik teman-temanmu, hai Ali!” sembari menikam tubuh menantu Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Ketika ditangkap, Ibnu Muljam berteriak meronta sembari mengutip firman Allah: “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya.” (Al-Baqarah: 207).
Pada waktu mulia, subuh; pada hari yang paling mulia, Jum’at; pada bulan yang mulia, Ramadan; seorang ekstremis fanatik mengutip firman mulia pada saat melakukan tindakan terkutuk terhadap manusia mulia, Ali. []
0 Response to "Ibnu Muljam dan Kisah Pembunuhan Sayyidina Ali di Waktu Ramadhan"
Post a Comment