Bolehkah Tidak Shalat Jumat karena Terjebak Macet?(© national geographic indonesia)
Kewajiban shalat Jumat dibebankan kepada setiap Muslim yang mukallaf, bermukim dan tidak mengalami uzur (hambatan) yang memperbolehkan meninggalkan Jumat. Tidak jarang saat seseorang yang tengah dalam perjalanan menuju kantor atau tempat tertentu terjebak macet. Kondisi macet tersebut membuat seseorang kesulitan untuk melaksanakan shalat Jumat. Apakah dalam kondisi demikian masih wajib menjalankan shalat Jumat?
Uzur yang memperbolehkan seseorang tidak menghadiri shalat Jumat sama dengan uzur yang memperbolehkan untuk meninggalkan shalat jamaah.
Batasan uzur yang dapat menggugurkan shalat Jumat menurut Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syathiri dalam Syarh al-Yaqut al-Nafis kembali kepada dua kaidah. Pertama, sekiranya terdapat kepayahan yang parah (masyaqqah syadidah) dalam menghadiri Jumat, seperti akibat sakit, cuaca terlampau panas, cuaca terlampau dingin, dan lain sebagainya.
Kedua, sekiranya menghadiri Jumat berdampak terbengkalainya kemashlahatan yang tidak dapat digantikan orang lain. Maka tidak wajib Jumat bagi petugas kepolisian yang mengamankan lalu lintas, perawat orang sakit, penjaga pos keamanan warga, dan lain sebagainya. (Lihat Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis, halaman 207-208, Dar al-Minhaj-Jedah, cetakan ketiga tahun 2011).
Secara lebih spesifik, ulama menjelaskan bahwa termasuk uzur Jumat adalah ditinggal oleh rekan rombongan andaikan ia menjalankan jamaah/Jumat. Alasannya adalah karena terdapat masyaqqah (kondisi amat sulit/memberatkan) disebabkan keresahan yang ditimbulkan akibat ditinggal rekan rombongannya.
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:
وَسَفَرُ الرُّفْقَةِ لِمُرِيْدِ سَفَرٍ مُبَاحٍ وَإِنْ قَصُرَ وَلَوْ سَفَرَ نُزْهَةٍ لِمَشَقَّةٍ تَلْحَقُهُ بِاسْتِيْحَاشِهِ وَإِنْ أَمِنَ عَلَى نَفْسِهِ وَمَالِهِ
“Termasuk uzur jamaah/ jumat adalah perginya rekan rombongan bagi orang yang hendak bepergian yang mubah, meski jaraknya pendek, meski perjalanan untuk tujuan refresing, karena terdapat keberatan yang menimpanya disebabkan rasa resah, meski ia aman dari keselamatan diri dan hartanya”. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim hamisy Hasyiyah al-Tarmasi, juz.3, hal.688, cetakan Dar al-Minhaj-Jedah, cetakan pertama tahun 2011).
Mengomentari atas referensi di atas, Syekh Mahfuzh al-Tarmasi mengatakan:
(قَوْلُهُ لِمُرِيْدِ سَفَرٍ مُبَاحٍ) أَيْ لِمَنْ تَأَهَّبَ لَهُ مَعَ رُفْقَةٍ تَرْحَلُ وَيَخَافُ مِنَ التَّخَلُّفِ لِلْجَمَاعَةِ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ أَوْ يَسْتَوْحِشُ فَقَطْ كَمَا يَدُلُّ عَلَيْهِ التَّعْلِيْلُ الْآتِيْ. (قَوْلُهُ وَإِنْ أَمِنَ عَلَى نَفْسِهِ وَمَالِهِ( أَيْ فَلَا يُشْتَرَطُ الْخَوْفُ عَلَيْهِمَا بَلْ مَتَى وَجَدَ الْوَحْشَةَ بِذَلِكَ كَانَ عُذْرًا
“Perkataan Syekh Ibnu Hajar, bagi orang yang hendak bepergian yang mubah, maksudnya bagi orang hendak bersiap pergi bersama rombongan dan andaikan pergi berjamaah ia khawatir akan keselamatan diri atau hartanya, atau sekedar mengalami keresahan sebagaimana yang ditujukan oleh alasan yang akan dijelaskan. Perkataan Syekh Ibnu Hajar, meski ia aman dari keselamatan diri dan hartanya, maksudnya tidak disyaratkan khawatir akan keselamatan diri dan harta, bahkan sekiranya terdapat keresahan akibat ditinggalkan rombongan, maka hal tersebut adalah uzur yang memperbolehkan meninggalkan jamaah/Jumat”. (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Tarmasi ‘ala al-Minhaj al-Qawim, juz.3, hal.688, cetakan Dar al-Minhaj-Jedah, cetakan pertama tahun 2011).
Referensi di atas menegaskan bahwa masyaqqah yang berupa keresahan andaikan memaksakan diri menghadiri shalat Jumat, sudah cukup untuk menggugurkan kewajiban jumat. ‘iillat (alasan) keresahan ini juga hadir dalam permasalahan orang yang terjebak macet di perjalanan, terlebih apabila macetnya sangat parah. Macet sendiri sudah merupakan kepayahan, lebih-lebih apabila memaksakan diri jumatan.
Dengan demikian, dalam kondisi macet perjalanan sebagaimana dijelaskan di atas, seseorang diperbolehkan meninggalkan jumat. Saat sampai di tempat tujuan wajib baginya untuk melaksanakan shalat zhuhur. Hanya saja, hukum tersebut berlaku bagi orang yang kesulitan menemui jumatan, baik di perjalanannya atau di tempat tujuan. Apabila masih memungkinkan untuk menemui jumatan di perjalanan atau di tempat tujuan setelah kemacetan berlalu tanpa ada kesulitan, maka tetap diwajibkan melaksanakan Jumat.
Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
(M. Mubasysyarum Bih)
Bolehkah Tidak Shalat Jumat karena Terjebak Macet?(© national geographic indonesia)
Kewajiban shalat Jumat dibebankan kepada setiap Muslim yang mukallaf, bermukim dan tidak mengalami uzur (hambatan) yang memperbolehkan meninggalkan Jumat. Tidak jarang saat seseorang yang tengah dalam perjalanan menuju kantor atau tempat tertentu terjebak macet. Kondisi macet tersebut membuat seseorang kesulitan untuk melaksanakan shalat Jumat. Apakah dalam kondisi demikian masih wajib menjalankan shalat Jumat?
Uzur yang memperbolehkan seseorang tidak menghadiri shalat Jumat sama dengan uzur yang memperbolehkan untuk meninggalkan shalat jamaah.
Batasan uzur yang dapat menggugurkan shalat Jumat menurut Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syathiri dalam Syarh al-Yaqut al-Nafis kembali kepada dua kaidah. Pertama, sekiranya terdapat kepayahan yang parah (masyaqqah syadidah) dalam menghadiri Jumat, seperti akibat sakit, cuaca terlampau panas, cuaca terlampau dingin, dan lain sebagainya.
Kedua, sekiranya menghadiri Jumat berdampak terbengkalainya kemashlahatan yang tidak dapat digantikan orang lain. Maka tidak wajib Jumat bagi petugas kepolisian yang mengamankan lalu lintas, perawat orang sakit, penjaga pos keamanan warga, dan lain sebagainya. (Lihat Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis, halaman 207-208, Dar al-Minhaj-Jedah, cetakan ketiga tahun 2011).
Secara lebih spesifik, ulama menjelaskan bahwa termasuk uzur Jumat adalah ditinggal oleh rekan rombongan andaikan ia menjalankan jamaah/Jumat. Alasannya adalah karena terdapat masyaqqah (kondisi amat sulit/memberatkan) disebabkan keresahan yang ditimbulkan akibat ditinggal rekan rombongannya.
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:
وَسَفَرُ الرُّفْقَةِ لِمُرِيْدِ سَفَرٍ مُبَاحٍ وَإِنْ قَصُرَ وَلَوْ سَفَرَ نُزْهَةٍ لِمَشَقَّةٍ تَلْحَقُهُ بِاسْتِيْحَاشِهِ وَإِنْ أَمِنَ عَلَى نَفْسِهِ وَمَالِهِ
“Termasuk uzur jamaah/ jumat adalah perginya rekan rombongan bagi orang yang hendak bepergian yang mubah, meski jaraknya pendek, meski perjalanan untuk tujuan refresing, karena terdapat keberatan yang menimpanya disebabkan rasa resah, meski ia aman dari keselamatan diri dan hartanya”. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim hamisy Hasyiyah al-Tarmasi, juz.3, hal.688, cetakan Dar al-Minhaj-Jedah, cetakan pertama tahun 2011).
Mengomentari atas referensi di atas, Syekh Mahfuzh al-Tarmasi mengatakan:
(قَوْلُهُ لِمُرِيْدِ سَفَرٍ مُبَاحٍ) أَيْ لِمَنْ تَأَهَّبَ لَهُ مَعَ رُفْقَةٍ تَرْحَلُ وَيَخَافُ مِنَ التَّخَلُّفِ لِلْجَمَاعَةِ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ أَوْ يَسْتَوْحِشُ فَقَطْ كَمَا يَدُلُّ عَلَيْهِ التَّعْلِيْلُ الْآتِيْ. (قَوْلُهُ وَإِنْ أَمِنَ عَلَى نَفْسِهِ وَمَالِهِ( أَيْ فَلَا يُشْتَرَطُ الْخَوْفُ عَلَيْهِمَا بَلْ مَتَى وَجَدَ الْوَحْشَةَ بِذَلِكَ كَانَ عُذْرًا
“Perkataan Syekh Ibnu Hajar, bagi orang yang hendak bepergian yang mubah, maksudnya bagi orang hendak bersiap pergi bersama rombongan dan andaikan pergi berjamaah ia khawatir akan keselamatan diri atau hartanya, atau sekedar mengalami keresahan sebagaimana yang ditujukan oleh alasan yang akan dijelaskan. Perkataan Syekh Ibnu Hajar, meski ia aman dari keselamatan diri dan hartanya, maksudnya tidak disyaratkan khawatir akan keselamatan diri dan harta, bahkan sekiranya terdapat keresahan akibat ditinggalkan rombongan, maka hal tersebut adalah uzur yang memperbolehkan meninggalkan jamaah/Jumat”. (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Tarmasi ‘ala al-Minhaj al-Qawim, juz.3, hal.688, cetakan Dar al-Minhaj-Jedah, cetakan pertama tahun 2011).
Referensi di atas menegaskan bahwa masyaqqah yang berupa keresahan andaikan memaksakan diri menghadiri shalat Jumat, sudah cukup untuk menggugurkan kewajiban jumat. ‘iillat (alasan) keresahan ini juga hadir dalam permasalahan orang yang terjebak macet di perjalanan, terlebih apabila macetnya sangat parah. Macet sendiri sudah merupakan kepayahan, lebih-lebih apabila memaksakan diri jumatan.
Dengan demikian, dalam kondisi macet perjalanan sebagaimana dijelaskan di atas, seseorang diperbolehkan meninggalkan jumat. Saat sampai di tempat tujuan wajib baginya untuk melaksanakan shalat zhuhur. Hanya saja, hukum tersebut berlaku bagi orang yang kesulitan menemui jumatan, baik di perjalanannya atau di tempat tujuan. Apabila masih memungkinkan untuk menemui jumatan di perjalanan atau di tempat tujuan setelah kemacetan berlalu tanpa ada kesulitan, maka tetap diwajibkan melaksanakan Jumat.
Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
(M. Mubasysyarum Bih)
0 Response to "Bolehkah Tidak Shalat Jumat karena Terjebak Macet?"
Post a Comment