Ibnu Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib.
Dalam kitabnya Fash al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal, Ibnu Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat (dalam kitab tersebut, Ibnu Rusyd menyebut “hikmah”) bisa dihukumi wajib, dengan dasar bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud (semeseta) yang lantas orang berusaha menarik pelajaran atau hikmah atau ’ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta.
Argumentasi Ibnu Rusyd tersebut, dapat dipahami secara logika, dengan mengikuti premis–premis yang disusun oleh Al-‘Iraqiy dalam an-Naz’ah sebagai berikut :
Premis minor: Penyelidikan terhadap semesta dengan berfilsafat bertujuan untuk mencapai pengetahuan kepada pembuatnya, yaitu Allah.
Premis mayor: Agama memerintahkan dan mewajibkan manusia untuk memperhatikan dan memikirkan penciptaan di alam ini agar mengenal Tuhannya (Allah).
Konklusi: Pengkajian filsafat dalam kerangka diatas adalah kewajiban, sepanjang kemampuan, yaitu dengan metode burhan (demontrasi)
Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan , maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaan-Nya, QS, [59:2], [7:184].
Jika kemudian seseorang dalam berfilsafat semakin menjauh dari agama maka ada beberapa kemungkinan; pertama, ia tidak memiliki kemampuan atau kapasitas yang memadai berkecimpung dalam dunia filsafat; kedua, ketidakmampuan dirinya mengendalikan diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang dilarang oleh agama; dan yang ketiga adalah ketiadaan pendamping atau guru yang handal yang bisa membimbingnya memahami dengan benar tentang suatu obyek pemikiran tertentu.
Oleh karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah menjadi mulhid (Atheis), tidak mempercayai eksistensi Tuhan atau meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada dalam kondisi semacam itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari faktor di atas, Sebab kemamapuan manusia dalam menenrima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan berbeda-beda, Ibnu Rusyd berpendapat ada 3 macam cara manusia dalam memperoleh pengetahuan yakni: Pertama, lewat metode al Khatabiyyah (Retorika). Kedua, lewat metode al Jadaliyyah (Dialektika). Ketiga, lewat metode al Burhaniyyah (Demonstratif).
Ketiga metode itu telah dipergunakan oleh Tuhan sebagaimana terdapat dalam teks-teks Al-Quran. Metode itu dikenalkan oleh Allah SWt sedemikian rupa mengingat derajat pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia amat beragam, sehingga Allah SWT tidak menawarkan metode pemerolehan pengetahuan dan kebenaran hanya dengan satu macam cara saja.
Satu pendekatan yang diyakini Ibnu rusyd bisa mendamaikan antara bunyi literal teks yang transenden dengan pemikiran spekulatif – rasionalistik manusia adalah kegiatan Takwil. Takwil sendiri didefinisikan sebagai: makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafaz yang keluar dari maknanya yang hakiki kepada makna majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa arab. Namun penggunaan takwil ini hanya terkhusus bagi orang-orang yang berilmu atau orang yang mendapat pengetahuan melalui metode al Burhaniyyah.
Dalam usahanya menyesuaikan agama dan filsafat didasari pada empat prinsip dasar yaitu: keharusan berfilsafat menurut Syara’, pengertian lahir dan pengertian batin serta keharusan ta’wil, aturan-aturan dan kaidah ta’wil, serta pertalian akal dengan wahyu.
Dengan keempat prinsip tersebut, yang dijabarkan secara sistematis dalam karya-karya utamanya, Ibnu Rusyd berhasil menempatkan filsafat sebagai bagian dari keberagamaan yang tidak perlu dipertentangkan. Namun demikian, Ibnu Rusyd tetap memberikan otoritas kepada wahyu di atas filsafat, sehingga dengan demikian Ibnu Rusyd sesungguhnya bukanlah rasionalis murni yang menafikan wahyu.
Waallahu A’lam.
0 Response to "Benarkah Filsafat Bertentangan dengan Islam?"
Post a Comment